Pengertian
Nilai
Nilai (values)
merupakan suatu tuntunan atau pedoman yang mendasari bagaimana seseorang atau
suatu organisasi berpikir, mengambil keputusan, bersikap, dan bertindak. Perbedaan
nilai yang dimiliki oleh dua orang yang berbeda akan menimbulkan sikap yang
berbeda pula diantara dua orang tersebut, meskipun mereka berada dalam
lingkungan yang sama. Sebagai contoh, seorang manajer pemasaran memberi tugas
pada dua orang stafnya untuk meningkatkan penjualan. Manajer tersebut tidak
memberikan keterangan tentang reward
apa yang akan diberikan bila target penjualan tercapai. Staf pertama bersikap
tenang-tenang saja, tidak langsung bergerak, atau berpikir langkah apa yang
harus dilakukan untuk meningkatkan penjualan, karena ia belum tahu keuntungan
apa yang akan diberikan oleh perusahaan kepadanya jika target tercapai. Baginya
jika reward belum jelas, untuk apa
bersusah payah memenuhi target, karena toh ia sudah mendapat gaji tetap meskipun
target penjualan tidak tercapai. Berbeda dengan sikap yang ditunjukkan oleh
staf yang kedua, ia langsung berpikir, menentukan langkah apa yang diperkirakan
dapat mencapai target, serta bertindak secepat mungkin. Staf ke dua berpikir
sebagai seorang karyawan ia harus menunjukkan bahwa ia mampu melakukan apa yang
ditugaskan padanya dengan baik dan menghasilkan hasil yang memuaskan. Perbedaan
sikap dari dua karyawan tersebut di atas adalah karena adanya perbedaan nilai-nilai yang dimiliki keduanya.
Nilai merupakan
gambaran dialog yang selalu terjadi dalam diri kita yang menentukan apa yang
penting dan apa yang tidak penting untuk dilakukan. Apa yang boleh dan apa yang
tidak boleh dilakukan. Apa yang benar dan apa yang salah. Nilai merupakan dasar
yang terdalam, acuan, dan motor penggerak motivasi, sikap dan tindakan. Nilai
tidak bisa dipalsukan, karena apa yang dipikirkan, dilakukan, dan disikapi akan
terlihat dengan jelas merupakan refleksi dari nilai-nilai yang dianut
seseorang. Nilai-nilai yang dianut dan dijalankan oleh karyawan dalam
organisasi inilah yang merupakan faktor penentu bagaimana organisasi tersebut
secara kolektif memiliki kualitas, kapasitas, dan kapabilitas dalam membuat
keputusan, perilaku dan tindakan organisasi.
Nilai organisasi bukan
nilai yang tertulis dalam pedoman organisasi, karena sering nilai-nilai ini
adalah rekomendasi dari konsultan. Nilai organisasi adalah apa secara aktual
memang menjadi praktek dari organisasi tersebut. Apa yang disaksikan, diyakini,
dipercaya, dilakukan dan dipraktekkan oleh para karyawan di organisasi ini
merupakan nilai riil (nyata). Banyak organisasi besar yang menyewa konsultan untuk membuat cetak biru organisasi, memasang competency based organization, melakukan
program pelatihan karyawan, serta memasang sistem teknologi informasi yang
baru. Investasi yang cukup besar ini tanpa diikuti oleh perubahan nilai-nilai
yang mendasari keyakinan, kepercayan,
sikap para karyawannya, akan sulit untuk mewujudkan sikap yang
diharapkan.
Nilai mencerminkan perilaku
dasar bahwa bentuk khusus perilaku atau bentuk akhir keberadaan secara peribadi
atau sosial lebih dipilih dibandingkan dengan bentuk perilaku atau bentuk akhir
keberadaan perlawanan atau kebalikan. Nilai sangat penting untuk mempelajari
perilaku organisasi karena nilai menjadi dasar untuk memahami sikap dan
motivasi serta memahami persepsi kita, individu memasuki organisasi berdasarkan
yang dikonsefkan sebelumnya mengenai apa yang seharusnya dan apa yang tidak
seharusnya.
Milton Rokeatch [1]menciptakan
nilai Rokeach (RVS) yang merupakan nilai terminal dan instrumental. Nilai
terminal merupakan bentuk akhir keberadaan yang sasarannya sangat diinginkan
untuk dicapai seseorang dalam hidupnya. Sedangkan, nilai instrumental adalah
bentuk perilaku atau upaya-upaya pencapaian nilai-nilai terminal yang lebih
disukai oleh orang tertentu.
Nilai kerja dapat
dikelompokan kedalam empat kelompok yang
mengungkapkan nilai-nilai yang unik dari suatu kelompok atau generasi yang
berbeda dalam angkatan kerja yaitu dapat dilihat dalam table berikut:
Tabel 2. Nilai Kerja
Kelompok
|
Memasuki
Angkatan Kerja
|
Perkiraan
memasuki usia saat ini
|
Nilai-nilai
dominan
|
Veteran
Boby
Bommer
Generasi
x
Nexter
|
1950-an atau awal 1960-an
1965-1985
1985-2000
2000-sekarang
|
60+
40-60
25-40
Dibawah 25
|
Pekerja
keras, koservatif, patuh setia kepada organisasai
Sukses
mencapai prestasi, ambisi tidak menyukai otoritas setia pada karier
Keseimbangan
pekerjaan/kehidupan berorientasi tim, tidak meyukai peraturan, setia pada
hubungan
Percaya
diri, keberhasilan financial, mengandalkan diri sendiri, namun berorientasi
tim, setia pada diri sendiri dan pasangan.
|
Pemahaman bahwa
nilai-nilai individu berbeda namun cenderung mencerminkan nilai-nilai masyarakat
periode mereka dibesarkan dan menjadi bantuan berharga dalam menjalankan dan
memperkirakan perilaku. Salah satu bentuk pendekatan secara global yang
ditunjuk untuk menganalisis variasi untuk menunjuk kebudayaan-kebudayaan yang
dilakukan oleh Greert Hofstede menemukan bahwa para manajer berbeda berdasarkan
lima dimensi yaitu:
1. Jarak
kekuasaan merupakan suatu atribut kebudayaan nasional yang meggambarkan tingkat
penerimaan masyarakat akan kekuasaan dalam intitusi atau organisasi yang
didistribusikan secara tidak merata.
2. Individualism versus Kolektivisme.
Individualism merupakan atribut kebudayaan nasional yang menggambarkan tingkat
dimana orang lebih suka bertindak sebagai individu dari pada sebagai kelompok
sedangkan kolektivisme merupakan kebudayaan nasional yang menggambarkan
kerangka kerja yang ketat didalamnya orang mengharapkan orang lain dalam
kelompok dimana mereka merupakan anggota untuk merawat dan membantunya.
3. Kuantitas kehidupan dengan Kualitas
kehidupan. Merupakan atribut kebudayaan nasional yang menggambarkan dimana
tingkat nilai kemasyarakatan di cerminkan dengan keberanian berpendapat dan
matrealisme, sedangkan kuantitas kehidupan merupakan atribut kebudayaan
nasional yang menekankan pada hubungan dan kepedulian terhadap orang lain.
4. Penghindaran Ketidakpastian,
merupakan atribut kebudayaan nasional yang menggambarkan tingkat dimana
masyarakat merasa terancam oleh keadaan yang tidak menentu atau bermakna ganda dan coba untuk menghindari keadaan tersebut.
5. Orientasi jangka panjang versus jangka
pendek. Orientasi jangka panjang merupakan atribut kebudayaan nasional yang
menekankan pada masa depan, penghematan, dan keberlanjutan. Sedangkan orientasi
jangka pendek merupakan atribut kebudayaan nasional yang menekankan pada masa
kini, menghormati tradisi, dan memenuhi kewajiban-kewajiban sosial.
Pentingnya
Nilai Organisasi
Masa
sekarang, nilai-nilai organisasi (organization
values) telah menjadi jauh lebih penting dibanding masa-masa sebelumnya.
Hal ini terjadi karena aktivitas bisnis dan perekonomian telah mengalami
perubahan yang signifikan. Nilai penting untuk mempelajari perilaku organisasi
karena nilai menjadi dasar untuk memahami sikap dan motivasi serta karena nilai
mempengaruhi persepsi individu. Individu-individu memasuki organisasi dengan
gagasan yang dikonsepkan sebelumnya mengenai apa yang seharusnya dan tidak
seharusnya. Sistem nilai adalah hirarki yang didasarkan pada pemeringkatan
nilai-nilai pribadi berdasarkan intensitas nilai tersebut.
Perubahan
Nilai Organisasi
Perubahan
nilai organisasi dapat ditempuh dengan dua jalur, yang keduanya harus dilakukan
secara bersamaan karena jika tidak maka perubahan nilai akan mengalami
kepincangan dalam prakteknya. Jalur pertama adalah melalui keteladanan
nilai-nilai dari para jajaran pimpinannya. Jalur kedua adalah melalui
penciptaan sistem organisasi dan teknologi yang akan mengarahkan orang mau
tidak mau mengikuti penyesuaian perubahan ke nilai-nilai baru.
Dalam
upaya untuk menanamkan nilai-nilai ini perusahaan lalu membuat sistem penilaian
kinerja yang bisa mengukur sejauh mana para pimpinan sudah menerapkan
nilai-nilai tersebut dalam sikap, tindakan, dan perilaku mereka terhadap
karyawannya. Penanaman nilai-nilai organisasi juga efektif bila dilakukan
melalui program “value based leadership”.
Program ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan pengembangan karakter
kepemimpinan yang mengadopsi nilai-nilai yang sesuai dengan yang diharapkan
perusahaan. Salah satu program yang digunakan untuk penanaman nilai-nilai ini
adalah dengan metode “neurolingusitic
programming (nlp)”. Metode ini menggunakan pendekatan meditasi dan
peninjauan diri secara bertahap yang memungkinkan pimpinan melihat secara
jernih apa-apa dalam dirinya yang tidak koheren dan tidak sesuai untuk ‘hidup’
dalam lingkungan organisasinya. Penggunaan metode nlp akan mampu membuat
eksekutif lebih jernih dalam berpikir, menjadi lebih terarah dalam membuat
keputusan, dan bertindak. Nilai-nilai baru dapat lebih mudah diadopsi, dan
dipraktekkan jika perubahan cara pribadi berinteraksi telah dilakukan terlebih
dahulu. Dan para eksekutif menjadi sosok yang lebih tenang dan rileks
menghadapi persoalan sehari-hari.
Jalur
kedua dalam melakukan penanaman nilai-nilai organisasi yang baru adalah melalui
sistem organisasi, fasilitas infrastruktur, dan manajemen
informasi. Agar suatu organisasi berhasil dalam melakukan inovasi maka
jalur informasi pasar yang dimiliki oleh divisi pemasaran dan penjualan harus
mengalir secara langsung ke bagian pengembangan produk. Proses informasi akan
berjalan manakala setiap bagian dalam organisasi terbiasa untuk berbagi
informasi penting dan diantara bagian tidak terjadi saling menyembunyikan
informasi untuk dijadikan senjata pamungkas pada debat meeting
antar divisi.
Fondasi
Perilaku Individu
Manusia
adalah makhluk yang unik. Setiap individu berbeda antara satu dengan yang lain.
Perbedaan ini akan menyebabkan individu-individupun berperilaku tidak seragam.
Mungkin seorang individu akan berperilaku menyebalkan sementara individu yang
lain berperilaku ramah.
Ada
beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku seorang individu, terutama perilaku
individu di dalamsebuah organisasi :
1.
Karakteristik biografi (biographical
characteristic). Karakteristik biografi adalah karakter-karakter personal yang
melekat di diri seorang individu seperti usia, gender, dan status pernikahan.
2.
Kemampuan (ability). Kemampuan adalah
kapasitas yang dimiliki oleh seorang individu untuk melakukan suatu pekerjaan
tertentu, terdiri dari memampuan intelektual (IQ) dan kemampuan fisik.
3.
Pembelajaran (learning). Perilaku
individu tidak muncul secara tiba-tiba. Seorang bayi tidak langsung tahu cara
melakukan sesuatu tanpa diajari terlebih dahulu oleh orang tuanya. Oleh sebab
itu, pembelajaran kemudian menjadi salah satu faktor yang menentukan perilaku
seorang individu.
Ada
beberapa teori yang menjelaskan tentang proses pembelajaran. Teori pertama
adalah teori classical conditioning.
Teori ini menjelaskan bahwa seseorang akan memberikan tanggapan terhadap sebuah
stimulus tertentu karena belajar, padahal sebelumnya individu tersebut tidak
memberikan respon apa-apa terhadap stimulus tersebut. Respon terhadap stimulus
timbul karena individu dikondisikan untuk bereaksi dengan pembiasaan secara
terus menerus. Pengkondisian klasik pada hakikatnya, mempelajari respon
terkondisi yang melibatkan pembinaan ikatan antara rangsangan tak tekondisi,
dengan menggunakan rangsangan berpasangan yang satu memaksa dan yang lain
berpasangan, rangsangan netral menjadi rangsangan terkondisi dan yang lain
meneruskan rangsangan-rangsangan tak terkondisi.
Teori operant conditioning menjelaskan bahwa
individu akan berperilaku dengan mempertimbangkan akibat-akibat yang akan
ditimbulkan apabila perilaku tersebut ditampilkan oleh individu. Pada teori ini
pembelajaran dihubungkan dengan keinginan untuk memperoleh sesuatu sebagai
konsekuensi dari setiap tindakan. Seseorang berperilaku tertentu untuk menuju
pada perolehan ganjaran (reward) dan atau untuk menghindari suatu hukuman (punishment). Pengkondisian operat
merupakan tipe pengkondisian perilaku sukarela yang diharapkan untuk
mendapatkan hadiah atau mencegah hukuman. Kecenderungan untuk mengurangi
perilaku ini dipengaruhi oleh ada tidaknya penguatan yang dihadirkan oleh
konsekuensi-konsekuensi perilaku tersebut. Oleh karena itu penguatan perilaku
tertentu akan meningkatkan perilaku itu untuk diulangi. Hadiah akan lebih
efektif jika segera diberikan menyusul respon yang diinginkan, disamping itu,
perilaku yang tidak diberikan penghargaan akan lebih kecil kemungkinan untuk
diulang.
Teori pembelajaran
sosial (social learning) menjelaskan
bahwa seorang individu akan mempelajari akan mempelajari perilaku orang lain untuk
kemudian dia tiru. Individu belajar melalui pengamatan dan pengalaman langsung.
Di sini faktor-faktor lingkungan sangat kuat mempengaruhi perilaku individu. Teori pembelajaran
sosial, dimana manusia dapat belajar melalui pengamatana dan pengalaman langsung.
Pengaruh model ini merupakan inti dari pembelajaran sosial, dalam pembelajaran
sosial ditemukan empat model proses yang mempengaruhi individu dalam menentukan
keberhasilan program yaitu:
1. Proses
perhatian
Orang
akan belajar dari model tertentu jika hanya untuk mengenali dan menaruh
perhatian pada pitur penting yang menentukan, kita sangat terpengaruh oleh
model-model yang menarik, muncul berulang-ulang yang serupa menurut pikiran.
2. Proses retensi
Pengaruh
model tertentu akan berpengaruh pada bertapa baiknya individu mengingat
tindakan model itu setelah model itu tidak ada lagi.
3. Proses repreduksi motor
Setelah
seseorang melihat perilaku baru dengan mengganti model itu, pengamatan itu akan
berubah menjadi perbuatan, maka proses ini akan memperlihatkan bahwa individu
itu akan memperlihatkan model itu.
4. Proses penguatan
Individu-individu
akan termotivasi untuk memperlihatkan perilaku model tertentu jika disediakan
rangsangan tertentu atau mendapatkan hadiah. Perilaku yang dikuatkan melalui
mekanisme positif akan lebih banyak mendapatkan perhatian, dipelajari lebih
baik, danlebih sering dilakukan.
Sikap
(attitude)
Sikap atau attitude
diartikan sebagai pernyataan evaluatif atau penilaian terhadap suatu objek,
orang atau peristiwa. Sikap (attitude) berbeda dari perilaku (behaviour). Sikap
masih berupa penilaian abstrak. Penilaian tersebut menjadi kongkrit dalam
perilaku. Misal kita mempunyai sikap bahwa korupsi itu tidak baik, penilaian
kita tersebut menjadi nyata ketika kita mewujudkan sikap tersebut de dalam
perilaku tidak melakukan korupsi.
Robbins dan Judge
(2008) mengungkapkan ada tiga komponen yang membangun sikap atau attitude yaitu
:
a. Komponen
kognitif (cognitive component), komponen ini merupakan komponen inti dari sikap
(attitude) yang berupa penjelasan atau kepercayaan (belief) tentang suatu hal.
b. Komponen
afektif (affective component), merupakan komponen sikap (attitude) yang
bersifat emosional atau bagaimana seseroang merasakansesuatu hal. Seperti
apakah ia merasa senang atau merasa tidak senang.
c. Komponen
Perilaku (behavioral component),
yaitu intensi yang berperilaku tertentu terhadap seseorang atau suatu hal yang
didasarkan pada keyakinan (kognitif) dan perasaan (affektif) yang dimiliki
individu terhadap seseorang atau suatu hal tersebut.
Tiga komponen sikap
tersebut memberikan pemahaman bahwa sikap individu dibentuk oleh kognisi dalam
menggunakan rasio yang dikombinasikan dengan kekuatan emosi yang akan mendorong
seseorang individu untuk menunjukkan perilaku tertentu.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sikap bisa menjadi prediktor bagi perilaku. Kita bisa
memprediksi kira-kira perilaku apa yang akan ditunjukkan oleh seorang individu
dengan mengetahui sikap yang dianutnya. Tetapi ada kalanya, muncul
ketidaksesuaian antara sikap yang dianut dan perilaku yang ditampilkan,
sehingga menimbulkan kondisi yang disebut sebagai cognitive dissonance.
Cognitive
dissonance adalah suatu kondisi ketika terjadi ketidaksamaan
antara sikap dan perilaku. Artinya perilaku yang ditampilkan individu tidak
sesuai dengan sikap yang dianutnya. Akibatnya muncul kegelisahan di dalam diri
individu. Untuk perilakunya agar sesuai dengan sikapnya atau mengubah sikapnya
agar sesuai dengan perilakunya.
Tetapi ada kalanya
sikap baru tercipta setelah kita menampilkan perilaku tertentu. Di sini
perilaku mucul terlebih dahulu baru kemudian sikap yang digunakan sebagai
pengesahan terhadap perilaku yang telah dilakukan. Misalkan, seorang mahasiswa
berbuat curang dengan berperilaku mencontek ketika ujian karena tidak belajar,
perilakunya tersebut kemudian disahkan oleh sikap yang muncul belakangan,
misalnya mencontek karena kepepet bukan perbuatan yang tercela. Kondisi ini
disebut sebagai self percetion theory yaitu sikap (attitud) digunakan justru
untuk menjustifikasi perilaku (behaviour) yang telah dilakukan.
Di dalam perilaku
organisasi, terdapat tiga jenis sikap yang sering dipelajari dan diteliti, yiaut
kepuasan kerja (job satisfaction), yang merujuk pada sikap seseorang terhadap
pekerjaannya, keterlibatan kerja (job involvement) yang merupakan ukuran sejauh
mana seseorang secara psikologis memihak pekerjaannya dan menggunakan
pekerjaannya sebagai ukuran harga diri, dan komitmen organisasi (organizational
commitment) yang merupakan sikap sejauh mana seorang individu berniat
memelihara keanggotaan di dalam sebuah organisasi.
Kepuasan
Kerja (Job Satisfaction)
Kepuasan kerja atau job
satisfaction sendiri diartikan sebagai sikap (attitude) individu terhadap
pekerjaannya. Seseorang yang memiliki kepuasan kerja yang tinggi akan memiliki
sikap (attitude) yang positif terhadap pekerjaannya. Begitu pula sebaliknya,
orang yang tidak puas (kepuasan kerjanya rendah) akan memiliki sikap yang
negatif terhadap pekerjaannya.
Kepuasan kerja
seseorang biasanya diukkur dengan menggunakan pendekatan summation score.
Pendekatan ini mencoba mengukur kepuasan kerja seorang individu dilihat dari
enam elemen kunci pekerjaan yaitu : pekerjaan saat ini (nature of curren job),
atasan atau penyelia (supervisor), teman sekerja ( co workers), gaji yang
diperoleh, kesempatan promosi dan pekerjaan secara umum.
Individu diminta
merespon keenam hal tersebut apakah ia merasa puas (satisfied) ataukah merasa
tidak puas (dissatistied) terhadapnya. Respon-respon tersebut kemudian
dijumlahkan untuk mengetahui tingkat kepuasan kerja secara keseluruhan.
Kepuasan kerja ini,
menurut Robbins memiliki pengaruh dan dampak-dampak terhadap tingkat produktivitas,
tingkat absensi dan tingkat turnover.
Hasil penelitian
mengungkapkan bahwa organisasi dengan karyawan yang merasa puas akan lebih
efektif dibandingkan dengan organisasi di mana karyawannya memiliki kepuasan
kerja yang rendah. Begitu pula dengan tingkat absensi, pekerja yang memiliki
kepuasan kerja yang rendah akan memiliki tingkat absensi yang tinggi
dibandingkan dengan pekerja yang memiliki kepuasan kerja yang tinggi. Selain
itu kepuasan kerja juga memberikan dampak terhadap tingkat turnover meskipun
pengaruh ini hanya berlaku bagi pekerja dengan kinerja yang rendah (poor
performance) dan tidak terlalu memberikan dampak terhadap pekerja dengan
kinerja yang bagus (superior performance).
Determinan
Kepuasan Kerja
1.
Lingkuangan kerja
Merupakan
faktor yang berkaitan dengan hubungan antara seseorang dengan rekan kerjanya
maupun atasannya, baik yang sama maupun yang berbeda jenis pekerjaannya.
Seseorang menginginkan lingkungan kerja yang nyaman untuk memudahkan mereka
dalam mengerjakan tugasnya. Studi-studi mengemukakan bahwa seseorang lebih
menyukai keadaan fisik yang tidak berbahaya atau merepotkan. Temperatur,
cahaya, kebisingan, dan faktor lingkungan lain juga dapa mempengaruhi kepuasan
kerja dan berdampak pada kinerja. Bagi kebanyakan orang, kerja juga mengisi
kebutuhan sosial. Oleh karena itu, mempunyai rekan sekerja yang ramah dan
menyenangkan dapat menciptakan kepuasan kerja yang tinggi.
2.
Atasan/Gaya Kepemimpinan
Perilaku atasan juga
merupakan determinan utama dari kepuasan kerja. Atasan yang baik berarti mau
menghargai pekerjaan bawahannya. Hubungan funsional mencerminkan sejauh mana
atasan membantu karyawannya tersebut. Tingkat kepuasan kerja yang paling besar
dengan atasan adalah jika kedua jenis hubungan bersifat positif. Misalnya
atasan yang menghargai pendapat, ide-ide, dan saran karyawannya sehingga dapat
meningkatkan motivasi dan kepuasan kerja mereka.
3.
Sifat Pekerjaan (job content) dan
Aktivitas Kerja
Menikmati pekerjaan itu
sendiri hampir selalu merupakan segi yang paling berkaitan erat dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi secara
keselurahan. Pekerjaan menarik yang memberikan pelatihan, variasi, kemerdekaan,
dan kendali dapat memuaskan sebagian besar individu. Dengan kata lain, seorang
individu lebih menyukai pekerjaan yang menantang dan mengembankan semangat
kerja daripada pekerjaan yang dapat diramalkan dan rutin.
4.
Benefit
Benefit dalam hal ini
adalah manfaat atau keuntungan yang didapat seseorang saat menjadi anggota
suatu organisasi, berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Ketika seseorang
menganggap bahwa dengan mengikut organisasi tersebut akan mendatangkan banyak
manfaat bagi dirinya, maka kepuasan kerja mereka akan meningkat.
Respon
Terhadap Ketidakpuasan Kerja (job
dissatisfaction)
Ada beberapa respon
yang diberikan oleh individu apabila ia merasakan ketidakpuasan di tempat
kerjanya.
Individu memutuskan
untuk keluar dari organisasi (exit)
Mencoba memperbaiki
keadaan di dalam organisasi (voice)
Secara pasif menunggu
perubahan kondisi organisasi (loyalty)
Mengabaikan kondisi
yang ada di dalam organisasi (neglect)
Dikutip
dari tulisan :
1. Herry
Tjahjono “Culture based Leadership”. Kompas Gramedia. 2010
3. Dewi
Hanggraeni “Perilaku Organisasi (Teori, Kasus, dan Analisis)”. Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2011
4.
Agus,
Auladingsih, I Mas “Makalah Perilaku Individu”
Modul
Perancangan Organisasi (SDM) Ir. Farida MMA
TERIMA KASIH SANGAT MEMBANTU UNTUK TUGAS SAYA
BalasHapus