Modul 5
KELOMPOK DAN TIM DALAM ORGANISASI
Kelompok
dan Tim adalah dua konsep berbeda. Kelompok atau group didefinisikan sebagai 2
atau lebih individu yang saling bergantung dan bekerjasama, yang secara bersama
berupaya mencapai tujuan bersama. Kelompok kerja (work group) adalah kelompok yang berinteraksi utamanya untuk saling
berbagi informasi untuk membuat keputusan guna membantu satu sama lain dalam
hal wilayah kewenangannya masing-masing.
Kelompok
kerja tidak memiliki kebutuhan ataupun kesempatan guna terlibat di dalam kerja
kolektif yang memerlukan upaya gabungan. Akibatnya, kinerja mereka sekadar
totalitas kontribusi dari seluruh individu anggota kelompok. Tidak ada sinergi
positif yang menciptakan tingkat kinerja keseluruhan yang lebih besar ketimbang
totalitas input yang mereka berikan. Sementara itu, Tim Kerja mengembangkan
sinergi positif melalui upaya yang terkoordinasi. Upaya individual mereka
menghasilkan suatu tingkat kinerja yang lebih besar ketimbang totalitas input
para individunya.
Konsep Dasar Kelompok
Nilai
dan Norma – Kelompok
mengembangkan pola hubungan sosialnya sendiri, termasuk kode dan praktek
(norma) yang patut ditunjukkan lewat perilaku kelompok tersebut. Norma yang ada
dalam kelompok yang sifatnya informal misalnya :
• Tidak menghasilkan
output yang terlalu besar dibandingkan para anggota lain atau melebihi batasan
produksi yang ditetapkan kelompok.
• Tidak
menghasilkan produksi atau output yang lebih rendah ketimbang yang diberlakukan
kelompok.
• Tidak
mengatakan sesuatu pada supervisor atau manajemen yang bisa membahayakan
anggota kelompok lainnya.
• Orang
dengan otoritas atas anggota kelompok lain, semisal inspektur, seharusnya tidak
mengambil keuntungan dari senioritasnya tersebut atau menjaga jarak sosial
dengan kelompok.
Kelompok
punya sistem sanksinya sendiri, termasuk tindakan kasar, merusak hasil
pekerjaan, menyembunyikan peralatan kerja, meliciki inspektur, dan menghambat
pekerjaan para anggota yang dianggap tidak sesuai dengan norma-norma kelompok.
Ancaman kekerasan fisik juga kerap terjadi, dan kelompok telah mengembangkan
sistem penghukuman terhadap para pelangga dengan meninju bagian atas tangan si
pelanggar. Metode seperti ini telah dikenal sebagai pengendalian konflik di
dalam kelompok.
Suatu
penelitian yang dilakukan Economic & Social Research Council memberi
perhatian pada pentingnya norma-norma sosial di antara para pekerja. Mereka
menanyakan apakah pekerja dibimbing tidak hanya oleh insentif uang tetapi juga
tekanan rekan kerja.
Peran – Kelompok beda butuh peran beda
dari anggotanya. Kita bisa memahami perilaku seseorang di situasi khusus jika
kita tahu apa peran yang orang itu mainkan. Sehubungan dengan peran, sejumlah
penelitian menyatakan kesimpulan berikut : (1) Orang punya beragam peran; (2)
Orang belajar peran dari rangsangan di sekitar mereka seperti teman, buku,
film, dan televisi; (3) Orang punya kemampuan berganti peran secara cepat
tatkala mereka mengenali suatu situasi dan menuntut perubahan utama yang jelas;
(4) Orang kerap mengalami konflik peran tatkala peran di satu situasi
bertabrakan dengan peran di situasi lainnya.
Kohesivitas – Kelompok saling beda dalam hal
kohesivitas. Kohesivitas adalah derajat mana anggota tertarik pada anggota
lainnya dan termotivasi untuk tetap bertahan di dalam kelompok. Contoh, suatu
kelompok adalah kohesiv karena para anggotanya meluangkan sejumlah besar waktu
bersama.
Ukuran – Ukuran menentukan perilaku
keseluruhan dari suatu kelompok. Kelompok berukuran kecil lebih cepat
menyelesaikan tugas ketimbang kelompok yang besar. Jika suatu kelompok terlibat
dalam penyelesaian masalah, bagimanapun, kelompok besar secara konsisten dapat
nilai yang lebih baik ketimbang yang lebih kecil. Kelompok besar lebih baik
dalam beroleh masukan-masukan berbeda. Jadi jika sasaran kelompok adalah
menemukan fakta, kelompok besar akan lebih efektif. Di sisi lain, kelompok
kecil lebih baik dalam melakukan sesuatu yang produktif dalam hal inputnya.
Kelompok yang terdiri atas 7 anggota cenderung lebih efektif dalam melakukan
tindakan
Komposisi – Hampir sebagian kegiatan
kelompok butuh variasi keahlian dan pengetahuan. Dengan demikian masuk akan
guna menyimpulkan kelompok heterogen lebih mungkin punya kemampuan dan
informasi berbeda dan sebab itu lebih efektif ketimbang kelompok yang homogen.
Status – Status adalah tingkat
prestise, posisi, atau peringkat di dalam kelompok. Status bisa secara formal
diterapkan oleh kelompok. Namun, kerap kita bicara status dalam konteks
kelompok informal. Status bisa bersifat informal dan diperoleh berdasarkan
pendidikan, usia, jenis kelamin, keahlian, ataupun pengalaman. Segala status
bisa punya nilai status jika orang lain di dalam kelompok memandang status
tersebut berharga. Harus dipahami bahwa status informal tidak kurang penting
ketimbang status formal.
Kelompok Formal dan Informal
Kelompok
secara sengaja direncakan dan diciptakan oleh manajemen selaku bagian dari
struktur organisasi formal. Kendati begitu, kelompok juga muncul lewat proses
sosial dan organisasi informal. Organisasi informal muncul lewat interaksi
antar pekerja di dalam organisasi dan perkembangan kelompok dengan tata
hubungan dan norma perilaku mereka sendiri, kendati tidak digariskan lewat
struktur formal organisasi. Dengan demikian, terdapat perbedaan antara kelompok
formal dan informal.
Kelompok Formal – Kelompok ini dibangun selaku akibat dari pola struktur organisasi dan pembagian kerja. Contoh, pengelompokan kegiatan-kegiatan yang serupa ke dalam satu kelompok. Kelompok merupakan hasil dari sifat teknologi yang diterapkan perusahaan dan cara dalam mana pekerjaan dilakukan. Contoh, mengelompokkan sejumlah orang yang pekerjaannya berhubungan dengan pelaporan keuangan dan perakitan komponen. Kelompok juga terjadi tatkala sejumlah orang di tingkat atau status yang sama dalam organisasi memandang diri mereka sebagai satu kelompok. Contoh, kepala-kepala departemen suatu perusahaan industri baja atau kepala-kepala dinas suatu kabupaten.
Kelompok formal tercipta guna mencapai tujuan organisasi tertentu dan amat memperhatikan kegiatan kerja yang terkoordinasi. Orang disatukan bersama berdasar peran yang telah ditentukan di dalam struktur organisasi. Sifat dari pekerjaan yang dilakukan adalah sifat dominan dari kelompok formal. Sasaran diidentifikasi oleh manajemen, dan aturan-aturan tertentu, selanjutnya aturan-aturan tertentu, hubungan dan norma perilaku tercipta.
Kelompok Formal – Kelompok ini dibangun selaku akibat dari pola struktur organisasi dan pembagian kerja. Contoh, pengelompokan kegiatan-kegiatan yang serupa ke dalam satu kelompok. Kelompok merupakan hasil dari sifat teknologi yang diterapkan perusahaan dan cara dalam mana pekerjaan dilakukan. Contoh, mengelompokkan sejumlah orang yang pekerjaannya berhubungan dengan pelaporan keuangan dan perakitan komponen. Kelompok juga terjadi tatkala sejumlah orang di tingkat atau status yang sama dalam organisasi memandang diri mereka sebagai satu kelompok. Contoh, kepala-kepala departemen suatu perusahaan industri baja atau kepala-kepala dinas suatu kabupaten.
Kelompok formal tercipta guna mencapai tujuan organisasi tertentu dan amat memperhatikan kegiatan kerja yang terkoordinasi. Orang disatukan bersama berdasar peran yang telah ditentukan di dalam struktur organisasi. Sifat dari pekerjaan yang dilakukan adalah sifat dominan dari kelompok formal. Sasaran diidentifikasi oleh manajemen, dan aturan-aturan tertentu, selanjutnya aturan-aturan tertentu, hubungan dan norma perilaku tercipta.
Kelompok formal cenderung relatif permanen, kendati terdapat perubahan keanggotaan aktualnya. Kendati demikian, kelompok formal temporer ini juga diciptakan oleh manajemen, misalnya penggunakan tim-tim proyek dalam organisasi bersifat matriks. Kelompok kerja formal dapat dibedakan lewat sejumlah cara, semisal berdasar keanggotaan, tugas yang dilakukan, sifat teknologi, atau posisi di dalam struktur organisasi.
Kelompok Informal – Di dalam struktur organisasi formal, selalu terdapat struktur informal. Struktur organisasi formal dan sistem hubungan peran, peraturan, dan prosedur di antara para anggotanya, akan ditambahi oleh penafsiran dan pengembangan di tingkat informal. Kelompok informal didasar lebih pada hubungan dan persetujuan informal di antara para anggota kelompok ketimbang hubungan peran yang telah ditentukan manajemen. Hubungan informal tersebut guna memuaskan kebutuhan sosial dan psikologis yang tidak mesti berhubungan dengan tugas yang harus mereka laksanakan. Kelompok mungkin saja menggunakan aneka cara guna memuaskan afiliasi anggota dan motivasi sosial lainnya yang dianggap kurang dalam situasi kerja, utamanya dalam organisasi industri.
Keanggotaan
dalam kelompok informal dapat lintas struktur formal. Mereka terdiri atas
individu dari bagian organisasi yang berbeda ataupun tingkatan yang berbeda
pula, baik vertikal, diagonal, dan horisontal. Kelompok informal dapat serupa
dengan kelompok formal, ataupun bisa pula terdiri atas sebagian kelompok
formal. Anggota kelompok informal mengangkat pemimpin informalnya sendiri yang
nantinya menjalankan otoritas dengan persetujuan dari para anggota. Pemimpin
informal dipilih dengan kriteria bahwa mereka mewakili nilai dan sikap para
anggota, membantu menyelesaikan konflik, memimpin kelompok dalam memuaskan
kebutuhannya, atau bernegosiasi dengan manajemen atau orang lain di luar
kelompoknya
Fungsi
Utama Kelompok Informal
Pelestarian “budaya” kelompok
informal. Budaya
dalam konteks ini berarti seperangkat nilai, norma, dan keyakinan yang
menciptakan pedoman penerimaan dan perilaku kelompok. Kecuali anda menerima
budaya ini, anda tidak akan pernah menjadi anggotanya. Anda akan dianggap
“orang luar” atau “diisolasi.”
Pemeliharaan sistem komunikasi. Kelompok menginginkan seluruh
informasi yang berdampak pada kesejahteraan mereka, baik positif ataupun
negatif. Jika kelompok menentang suatu kebijakan atau motif di belakang suatu
tindakan manajemen, mereka akan mencari pijakan lewat saluran komunikasi formal
dan menyebarkan informasi tersebut ke tiap-tiap anggota organisasi.
Pelaksanaan kontrol sosial. Konformitas atas suatu budaya
kelompok dikuatkan oleh teknik-teknik yang konyol, penghambatan, dan kekerasan.
Provisi
minat dan kesenangan di dalam kehidupan kerja. Banyak pekerjaan sifatnya
monoton dan gagal meraih atensi pekerja. Kerja juga sedikit menawarkan prospek
masa depan yang baik. Pekerja mencoba melakukan kompensasi lewat hubungan
interpersonal yang disediakan oleh kelompok dan di dalam aktivitas tersebut,
waktu luang digunakan untuk “ngegosip”, “mokay”, “ngebanyol”, “dugem” dan
“ngedrink”.
Robbins menyebut sejumlah klasifikasi kelompok, yang menurutnya terdiri atas : (1) Kelompok Komando, (2) Kelompok Pekerjaan, (3) Kelompok Kepentingan, dan (4) Kelompok Pertemanan. Kelompok 1 dan 2 ada dalam ikatan kelompok formal, sementara kelompok 3 dan 4 ada dalam ikatan kelompok informal.
Kelompok Komando ditentukan oleh bagan organisasi. Ia terdiri atas bawahan yang melapor langsung pada manajer tertentu. Kepala sekolah SD berikut 12 gurunya membentu kelompok komando. Kelompok Pekerjaan juga ditentukan secara organisasional, mewakili orang-orang yang bekerja secara bersama guna menyelesaikan pekerjaa. Kendati begitu, batasan kelompok pekerjaan tidak terbatas pada atasan langsungnya secara hirarkis. Ia bisa lintas hubungan komando. Misal, jika seorang mahasiswa STIA Sandikta dituduh dalam kasus kriminal, kasus tersebut membutuhkan komunikasi dan koordinasi diantara Pembantu Ketua, Senat Mahasiswa, BAAK, bagian keamanan, dan Penasehat Akademik. Bentuk koordinasi tersebut membentuk kelompok kerja. Harus dipahami, seluruh kelompok komando juga merupakan kelompok pekerjaan, tetapi karena kelompok pekerjaan dapat lintas organisasi, maka kelompok pekerjaan tidak otomatis dianggap kelompok komando.
Orang yang tergabung ke dalam baik kelompok kerja ataupun kelompok komando bisa berafiliasi dengan suatu tujuan spesifik yang menarik perhatiannya. Ini adalah kelompok kepentingan. Pekerja yang tergabung bersama guna menggagas piknik, membela rekannya yang dipecat secara tidak hormat, atau mencari tunjangan perusahaan merupakan bentuk kegiatan kelompok kepentingan.
Kelompok juga kerap dibangun akibat para anggota secara individual punya satu atau beberapa karakteristik yang sama. Ini bisa disebut kelompok pertemanan. Kesetiaan sosial, yang kerap meluas hingga keluar situasi kerja, dapat didasarkan pada, sebagai contoh kesamaan usia atau asal-usul etnis, dukungan pada kesebelasan Manchester United, atau kesamaan garis politik selaku pendukung Partai Keadilan Sejahtera. Kelompok informal menyediakan fungsi penting dengan memuaskan kebutuhan sosial anggotanya. Berikut adalah alasan mengapa orang bergabung ke dalam kelompok :
Beda Kelompok dan Tim dalam
Konteks Kerja
Stephen
Robbin melakukan pembedaan antara Kelompok Kerja dan Tim Kerja berdasarkan 4
variabel yaitu : Sasaran, Sinergi, Akuntabilitas, dan Keahlian. Perbedaannya
sebagai berikut :
Sementara
itu, penulis lain seperti Laurie J. Mullins membedakan Kelompok dan Tim
berdasarkan 6 variabel yaitu : Ukuran, Seleksi, Kepemimpinan, Persepsi, Gaya,
dan Semangat. Taksonomi beda lengkapnya sebagai berikut :
Jenis-jenis
Tim
Tim dapat
diklasifikasikan berdasar tujuannya. Terdapat 4 bentuk umum dari tim yang biasa
kita temukan sehari-hari yaitu : Tim Problem-Solving, Tim Self-Managed Work,
Tim Cross-Functional, dan Tim Virtual.
Tim Problem-Solving – Kata tim mulai populer sejak
1980-an. Bentuk tim, pada awalnya, cukup sama satu sama lain. Mereka umumnya
terdiri atas 4 hingga 12 pekerja yang dibayar per jam dari departemen yang sama
yang saling bertemu dalam sejumlah jam tiap minggu guna membahas peningkatan
kualitas, efisiensi, dan lingkungan kerja. Tim seperti ini disebut Tim
Problem-Solving.
Dalam tim jenis ini, para anggota saling berbagi gagasan dan menawarkan saran seputar bagaimana proses dan metode kerja dapat ditingkatkan. Jarangkali, kendati begitu, tim-tim ini diberikan otoritas untuk secara unilateral (sendirinya) menerapkan saran mereka ke dalam tindakan. Satu hal yang dikenal sebagai bentuk Tim Problem-Solving adalah Lingkar Kualitas. Ini merupakan tim kerja terdiri atas 8 hingga 10 pekerja dan supervisor yang saling berbagi gagasan wilayah kewenangan dan bertemu secara teratur guna mendiskusikan masalah kualitas mereka, menyelidiki sebab-sebab masalah, dan merekomendasikan penyelesaian.
Dalam tim jenis ini, para anggota saling berbagi gagasan dan menawarkan saran seputar bagaimana proses dan metode kerja dapat ditingkatkan. Jarangkali, kendati begitu, tim-tim ini diberikan otoritas untuk secara unilateral (sendirinya) menerapkan saran mereka ke dalam tindakan. Satu hal yang dikenal sebagai bentuk Tim Problem-Solving adalah Lingkar Kualitas. Ini merupakan tim kerja terdiri atas 8 hingga 10 pekerja dan supervisor yang saling berbagi gagasan wilayah kewenangan dan bertemu secara teratur guna mendiskusikan masalah kualitas mereka, menyelidiki sebab-sebab masalah, dan merekomendasikan penyelesaian.
Tim Self-Managed Work – Tim Problem-Solving sudah ada di
jalur yang benar, tetapi mereka tidak beranjak jauh dalam hal pelibatan pekerja
dalam proses pembuatan keputusan yang berhubungan dengan suatu pekerjaan.
Kekurangan ini mendorong eksperimen dari tim yang benar-benar otonom yang tidak
hanya bercorak problem-solving melainkan juga menerapkan penyelesaian dan punya
kewenangan penuh atas hasil-hasilnya.
Tim Work Self-Managed umumnya terdiri atas 10 hingga 15
orang yang ambil tanggung jawab dari supervisornya. Khususnya, tanggung jawab
ini termauk kendali menyeluruh atas kecelakaan kerja, menentukan penilaian
pekerjaan, pemecahan organisasi, dan pilihan prosedur-prosedur pemeriksaan
secara kolektif. Tim ini bahkan memilih sendiri anggotanya. Xerox, General
Motors, Coors Brewing, PepsiCO, Hewlett-Packard, Honeywell, M&M/Mars, dan
Aetna Life adalah sejumlah nama populer yang telah mengimplementasikan tim
self-managed work. Perkiraan menyebut sekitar 30% pekerja Amerika
Serikat menggunakan bentuk tim, dan diantara firma-firma besar, jumlah tersebut
mendekati angka 50%.
Tim Cross-Functional – Custom Research, Inc, firma riset pemasaran di Minneapolis, Amerika Serikat telah secara historis mengorganisir departemen-departemen yang bersifat fungsional, tetapi manajemen senior menyimpulkan bahwa departemen-departemen tersebut tidak memenuhi kebutuhan yang berubah dari klien-klien firma. Jadi, gagasan dibalik tim adalah memiliki segala aspek kerja yang dibutuhkan klien dan dipegang oleh satu tim ketimbang tersebar di aneka departemen. Tujuannya untuk meningkatkan komunikasi dan penelusuran catatan kerja, yang akan membawa pada peningkatan produktivitas dan kepuasan klien.
Organisasi di atas mencerminkan Tim Cross-Functional. Tim ini terdiri atas pekerja-pekerja dari tingkat hirarki yang serupa tetapi beda wilayah pekerjaannya. Mereka bergabung bersama guna menyelesaikan suatu pekerjaan.
Banyak organisasi sudah menggunakan Tim Cross-Functional seperti ini semisal IBM membentuk gugus tugas tahun 1960-an yang terdiri atas pekerja lintas departemen dalam perusahaan guna mengembangkan Sistem 360 yang sukses. Gugus tugas tiada lain melainkan Tim Cross-Functional yang sifatnya temporer. Namun, ledakan penggunaan Tim Cross-Functional terjadi di tahun 1980-an yang dilakukan oleh Toyota, Honda, Nissan, BMW, General Motors, Ford, dan DaimlerChrysler.
Sebagai contoh, antara tahun 1999 hingga Juni 2000 manajemen senior IBM menarik 21 pekerja dari sekitar 100 ribu staf teknologi informasinya guna beroleh saran bagaimana perusahaan bisa cepat menyelesaikan proyek dan memasarikan produk secara cepat ke pasar. Ke 21 anggota dipilih karena mereka punya karakteristik yang serupa dimana mereka pernah berhasil memimpin proyek-proyek berjangka cepat. “Speed Team”, demikian julukan tim tersebut, bekerja selama 8 bulan saling berbagi informasi, menguji perbedaan antara proyek-proyek berjangka cepat dan lambat, dan bahwa melahirkan rekomendasi-rekomendasi seputar bagaimana IBM bisa mempercepat produksinya.
Tim Virtual – Tim-tim yang telah dibahas melakukan pertemuan face-to-face. Tim Virtual menggunakan teknologi komputer guna menghubungkan orang-orang yang terpisah secara fisik guna mencapai sasaran bersama. Teknik tersebut memungkinkan orang saling bekerjasama secara online, kendati mereka dipisahkan ruangan ataupun benua.
Tim Virtual dapat melakukan banyak hal ketimbang tim-tim lainnya, misalnya saling berbagi informasi, membuat keputusan, merampukngkan pekerjaan. Mereka terdiri atas para anggota dari organisasi yang sama ataupun hubungan anggota organ dengan para pekerja dari organisasi lain semisal supplier ataupun partner perusahaan.
Terdapat
3 faktor utama yang membedakan Tim Virtual dengan tim-tim lain yang face-to-face, yaitu : (1) Ketiadaan
komunikasi lisan-fisik; (2) terbatasnya konteks sosial, dan (3) kemampuan
mengatasi masalah waktu dan hambatan tempat. Dalam komunikasi face-to-face,
orang menggunakan paraverbal seperti nada suara, intonasi, dan volume suara
serta nonverbal seperti gerak mata, roman muka, gerak tangan, dan bahasa tubuh
lainnya. Keduanya semakin menjelaskan komunikasi, tetapi kini tiada di dalam
Tim Virtual. Tim Virtual menderita kekuarangan laporan sosial dan interaksi
langsung yang kecil diantara para anggotanya.
Perusahaan
seperti Hewlett-Packard, Boeing, Ford, VeriFone, dan Royal Dutch/Shell menjadi
pengguna utama Tim Virtual ini. VeriFone, contohnya, perusahaan perakit mesin
pembaca informasi kartu kredit, di mana penggunaan Tim Virtuallnya memungkinkan
3000 karyawannya, yang berlokasi di seluruh penjuru dunia, untuk kerja bersama
mendesain proyek, merencanakan pemasara, dan membuat presentasi penjualan.
Lebih jauh, wakil presiden VeriFone menyatakakan “Kami tidak memindahkan orang.
Jika seseorang nikmat tinggal di Colorado dan bisa melakukan pekerjaan dari
sana, kenapa kami harus mengintimidasinya?”
Ukuran
efektivitas suatu tim kerja tersembul di bawah ini :
Desain kerja – Kategori desain kerja termasuk variabel-variabel seperti kemerdekaan dan otonomi, kesempatan menggunakan aneka keahlian dan bakat, kemampuan menyelesaikan pekerjaan atau menciptakan produk, dan mengerjakan tugas atau proyek yang punya dampak signifikan atas orang lain.
Komposisi – Kategori ini terdiri atas variabel-variabel yang berhubungan dengan bagaimana tim harus diisi, lewat:
(1) Kemampuan, dalam tim dibutuhkan orang yang
ahli dalam membuat keputusan dan problem solving, teknis, dan interpersonal
skill;
(2)
Personalitas, yaitu The Big Five personality seperti ada dalam pendekatan sifat
dalam kepemimpinan;
(3) Pengalokasian peran dan keragaman, yaitu tim
harus memiliki 9 peran, yaitu :
• creator-inovator – menginisiatif gagasan kreatif;
• explorer-promoter – juara gagasan setelah dimulai;
• assessor-developer – menganalisa pilihan keputusan;
• thruster-organizer – menyediakan struktur;
• concluder-producer – menyediakan arah dan mengikutinya;
• controller-inspector – memeriksa rincian;
• upholder-maintainer – bertarung di pertempuran luar;
• reporter-adviser – menjadi informasi seluas-luasnya;
• linker – mengkoordinir dan mengintegrasikan.
• creator-inovator – menginisiatif gagasan kreatif;
• explorer-promoter – juara gagasan setelah dimulai;
• assessor-developer – menganalisa pilihan keputusan;
• thruster-organizer – menyediakan struktur;
• concluder-producer – menyediakan arah dan mengikutinya;
• controller-inspector – memeriksa rincian;
• upholder-maintainer – bertarung di pertempuran luar;
• reporter-adviser – menjadi informasi seluas-luasnya;
• linker – mengkoordinir dan mengintegrasikan.
(4) Fleksibilitas
anggota – Tim terdiri atas individu-individu fleksibel yang anggotanya dapat
saling melengkapi tugas satu sama lain. Ini nyata berguna bagi suatu tim karena
secara signifikan mampu meningkatkan adaptabilitas dan membuatnya kurang kaku
bagi anggota tertentu. Jadi, pemilihan anggota dilancarkan atas mereka yang
memiliki nilai fleksibilitas, laku latih secara silang guna saling mengerjakan
pekerjaan anggota lain.
Konteks – Tiga kontekstual faktor yang muncul paling signifikan sehubungan dengan kinerja tim adalah adanya sumber daya yang mencukupi, kepemimpinan yang efektif, dan evaluasi kinerja dan sistem reward yang mencerminkan kontribusi tim.
·
Sumber
daya mencukupi. Kelompok kerja adalah bagian kecil dari bagian besar sistem
organisasi. Seluruh tim kerja bersandar pada sumber daya di luar kelompok agar
tetap hidup. Kelangkaan sumber daya langsung mengurangi kemampuan tim untuk
bekerja secara efektif. Faktor yang paling penting dari sumber daya ini adalah
dukungan dari organisasi secara keseluruhan.
·
Kepemimpinan
dan Struktur. Anggota tim harus setuju siapa melakukan apa dan memastikan
seluruh anggota berkontribusi secara sama dalam berbagi beban kerja. Selaku
tambahan, tim butuh menentukan bagaimana jadual dirancang, skill apa dibutuhkan
untuk maju, bagaimana kelompok menyelesaikan konflik, dan bagaimana kelompok
membuat dan memodifikasi keputusan. Kepemimpinan tidak selalu dibutuhkan.
Contoh, bukti-bukti menunjukkan bahwa tim yang bekerja secara mandiri
(self-managed work team) kerap menunjukkan kinerja yang lebih baik kenimbang
tim yang punya pemimpin yang secara formal diangkat. Pemimpin dapat merusak
kinerja baik tatkala mereka ikut campur dalam tim self-managed work. Dalam Tim
Self-Managed Work, anggota tim menyerap banyak pekerjaan yang diasumsikan oleh
manajer.
·
Evaluasi
Kinerja dan Sistem Reward. Secara tradisional, evaluasi berorientasi individu
dan sistem reward harus dimodifikasi guna merefleksikan kinerja tim. Evaluasi
kinerja individu seperti upaya resmi per jam, insentif individu, dan sejenisnya
tidak konsisten dengan perkembangan kinerja tinggi yang ditunjukkan tim. Jadi,
selaku tambahan guna pengevaluasian dan mereward pekerja bagi kontribusi
individualnya, manajemen harus mempertimbangkan appraisal berdasar kelompok,
pembagian keuntunga, perolehan sahan, insentif kelompok kecil, dan modifikasi
sistem lainnya yang akan menguatkan upaya dan komitmen tim.
Proses – Kategori terakhir berhubungan dengan efektivitas tim adalah variabel proses. Variabel-variabel proses terdiri atas komitmen anggota terhadap tujuan, pembentukan sasaran tim secara khusus, efikasi tim, manajem konflik yang terorganisasi baik, dan pengurangan social loafing.
• Tujuan Bersama. Tim yang efektif harus punya tujuan bersama dan bermakna yang menyediakan arahan, momentum, dan komitmen di antara anggoanya. Tujuan ini sebuah visi. Ia lebih luas ketimbang sasaran tertentu saja.
• Sasaran Spesifik. Tim yang sukses menerjemahkan tujuan bersama mereka ke dalam sassaran kinerja yang realistik, spesifik, dan bermakna.
• Efikasi Tim. Tim yang efektif punya kepercayaan diri. Mereka yakin mereka akan berhasil. Sukses melahirkan sukses. Tim yang telah sukses meningkat keyakinan mereka untuk meraih sukses di masa datang. Ia akan memotivasi mereka lebih keras lagi.
• Tingkat Konflik. Konflik dalam tim tidak selamanya buruk. Tim yang sama sekali tidak pernah terlibat konflik akan mandek dan apatis. Jadi, konflik sebenarnya meningkatkan efektivitas tim, kendati tidak semua konflik. Konflik hubungan yang berdasarkan ketidaknyamanan antar individu, ketegangan, dan permusuhan terhadap orang lain selalu bersifat disfungsi, merugikan. Kendati begitu, pada tim yang menunjukkan kegiatan nonrutin, ketidaksetujuan antar anggota seputar pekerjaan tidak merusak.
• Social Loafing. Individu dapat bersembunyi di dalam kelompok. Mereka dapat terlibat dalam social loafing dalam upaya kelompok karena kontribusi individu tidak bisa diidentifikasi secara mudah. Tim yang efektif menggarisbawahi kecenderungan ini dengan menahan mereka yang akuntabel baik di tingkat individu ataupun tim.
PROSES MEMBANGUN TIM
Tidak
ada satu cara khusus yang dipakai untuk membangun sebuah tim. Tujuan untuk
membangun tim yang bersemangat, memiliki kedekatan, saling percaya, dan
produktif dapat dilakukan dengan banyak cara. Apapun caranya, hal yang penting
diingat adalah tim itu sendiri harus mengembangkan kemampuan
mengidentifikasikan persoalan kerja mereka dan sekaligus juga memecahkannya.
Lima tahap atau langkah yang umumnya dilakukan dalam membangun sebuah tim
diuraikan di bawah ini.
Langkah I . Membentuk Struktur
Tim
Setiap
tim harus bekerja dengan suatu struktur yang memadai agar berdaya menangani
isu-isu berat dan memecahkan persoalan-persoalan yang rumit. Walau struktur
bisa berbeda antara perusahaan satu dengan lainnya, namun komponen yang umumnya
ada meliputi :
·
Tim
Pengarah, yang terdiri atas manajer-manajer tingkat atas, pimpinan serikat
kerja (kalau ada), manajer lini, penyelia, pimpinan tim, dan orang-orang
penting lainnya. Seperti seorang pilot, kelompok tersebut menetapkan
seperangkat tindakan dan berperan sebagai nara sumber dan pemberi umpan balik
atas kegiatan tim
·
Perancang
Tim, merupakan tim lintas sektoral yang mencakup anggota-anggota dari semua
jenjang dan fungsi dalam organisasi. Anggotanya terdiri atas para penyelia dan
para manajer.
·
Pemimpin,
merupakan unsur penting bagi keberhasilan tim. Pemilihan pemimpin merupakan
faktor penting, mereka harus yang bergaya partisipatif. Pemimpin tipe X kurang
tepat untuk diminta sebagai pemimpin tim.
·
Rapat-rapat,
merupakan aktivitas yang terpenting. Agenda ini harus difasilitasi dan
dilakukan relatif sering. Pimpinan harus dilatih untuk mengelola proses rapat
dan proses terjadinya hubungan antar pribadi. Proses rapat antara lain mencakup
perencanaan dan penggunaan agenda, mengelola jalannya rapat, mendistribusikan
notulen rapat, mengatur bahan dan waktu rapat. Saat rapat berlangsung pimpinan
rapat harus mampu meningkatkan partisipasi semua anggota untuk mengeluarkan
gagasannya, mengatasi pertentangan akibat adanya perbedaan pendapat, menangani
anggota-anggota yang “sulit”, dan menciptakan suasana rapat yang dinamis.
·
Proses
konsultasi. Kehadiran pihak ketiga dalam upaya membimbing, mengajar, membantu
menyelesaikan konflik, kadang sangat diperlukan. Karena sesungguhnya mereka
bukan anggota tim, konsultan dapat memberikan tantangan bagi anggota tim.
Mereka bisa lebih obyektif dan bisa lebih bebas bekerja dan berpendapat ketika
membantu tim. Konsultan juga bisa membantu membangun aturan-aturan dan
cara-cara kerja. Mereka bisa diminta untuk mendidik anggota tim dalam
menggunakan peralatan, metode kerja, dan memecahkan masalah agar tim bisa lebih
produktif.
Langkah II : Mengumpulkan
informasi
Membangun
tim harus dimulai dengan penilaian diri anggota kelompok (self-assesment), untuk mengetahui kelemahan dan kekuatan yang
dimiliki oleh setiap anggota. Pengembangan tim dapat ditetapkan berdasarkan
data yang diperoleh dari survai tentang sikap, wawancara dengan anggota tim,
dan pengamatan atas diskusi-diskusi kelompok. Cara-cara tersebut bermanfaat
untuk menilai sejumlah hal, antara lain iklim komunikasi, rasa saling percaya,
motivasi, kemampuan memimpin, pencapaian konsensus, dan nilai kelompok.
Langkah III : Membicarakan
Kebutuhan
Informasi
yang diperoleh dalam langkah II harus dirangkum dan diumpan-balikan kepada
anggota tim. Tim harus mendiskusikannya secara terbuka, dan mencoba
menginterpretasikannya. Melalui proses ini akan ditemukan sejumlah kebutuhan ;
kekuatan yang ada harus dicoba dipertahankan dan dikembangkan sedangkan
kelemahan harus segera diatasi. Proses ini bisa berlangsung dalam beberapa kali
pertemuan guna menemukan hal-hal yang memang sangat dibutuhkan. Proses ini
sangat penting dalam upaya untuk menetapkan sendiri tujuan tim. Melalui
pemahaman atas kekuatan dan kelemahan diri sendiri, tim sudah dalam kondisi
siaga untuk mendiagnosis masalah dan menemukan jalan keluarnya.
Langkah IV : Merencanakan sasaran
dan menetapkan cara pencapaiannya.
Begitu
isu-isu diklarifikasikan, tim harus menetapkan tujuan dan misinya, serta
menetapkan prioritas kegiatan. “Perhaps most importantly, a team must have a shared
sense of mission. Whether we are talking about a temporary work improvement team, or
branch, all members must share the sense of mission”[1] Hal yang paling utama dilakukan oleh tim
adalah bekerja pada isu yang oleh anggota dianggap paling penting. Dengan
agenda yang ditetapkan sendiri, tim akan lebih komit pada proses pelaksanaan
dan pengembangannya. Kelompok harus mengembangkan skedul tentatif dan rencana
tindakan guna mencapai tujuan. Konsultan akan sangat membantu dengan cara
memberikan saran-saran tentang teknik atau kegiatan yang mungkin dilakukan
dalam upaya mencapai tujuan. Pengembang organisasi atau spesialis pelatihan
harus mengetahui jenis-jenis latihan, film, modul-modul, atau studi kasus, guna
membantu kelompok agar bisa mengembangkan ketrampilan yang diperlukan bagi
efektivitas kerja tim.
Langkah V : Mengembangkan
Ketrampilan
Sebagian
besar proses “pembangunan tim” akan memusatkan kegiatannya pada pengembangan
ketrampilan yang diperlukan untuk menciptakan tim yang berkinerja tinggi. Seperti
halnya para atlit olah raga, setiap anggota tim harus belajar bermain,
bergerak, dan mempraktekan ketrampilan mereka. Beberapa jenis ketrampilan yang
sangat diperlukan dalam membangun tim yang baik adalah :
1.
Kesadaran
untuk mengembangkan kelompok.
Harus disadari oleh semua anggota
tim bahwa kemajuan suatu tim dilakukan melalui tahapan-tahapan yang bisa
diprediksi, yaitu fase orientasi, fase evaluasi, dan fase kontrol. Fase
orientasi ditandai oleh adanya ragu-raguan para anggota kelompok akan peran mereka.
Mereka kurang memahami apa yang harus mereka lakukan selaku anggota tim. Pada
fase evaluasi, anggota cenderung meng- alami konflik yang disebabkan oleh
kekurang-setujuan mereka terhadap cara-cara penyelesaian tugas. Dalam fase ini
kelompok bisa terpecah-pecah dalam beberapa koalisi. Dalam fase kontrol,
kelompok kembali bersatu, karena mereka mulai memahami satu sama lainnya.
Apa yang terjadi di atas
merupakan gejala normal yang banyak terjadi. Faktor kepemimpinan merupakan hal
yang paling krusial dalam hal ini. Jika pimpinannya baik maka ketiga fase
tersebut tidak berlangsung lama, sehingga tim dapat segera bisa berfungsi.
2.
Klarifikasi
Peran
Bahkan ketika tim sudah mulai
bekerja, kadang mereka masih bingung tentang apa yang harus mereka lakukan, dan
juga siapa yang harus melakukannya. Dalam upaya mencapai tugas-tugas kelompok,
setiap anggota harus memahami peran mereka masing-masing. Mereka harus tahu
dengan baik apa yang harus mereka kerjakan dan juga batas-batas kewenangannya. “Team
members must know what others expect from them. Ambiguity in role expectations
produces stress and hampers performance”[2]
Uraian jabatan formal seringkali
tidak sesuai dengan harapan masing-masing anggota, oleh karena itu pembagian
peran sebaiknya dibicarakan bersama. Dalam diskusi ini harus dibahas misi
kelompok, kepada siapa kelompok harus melaporkan hasil kerjanya?, kewenangan
apa yang dipunyai kelompok?, siapa yang menentukan pimpinan mereka?, apakah
anggota kelompok setuju pada pembagian pekerjaan?, dan apakah peran masing-masing
anggota kelompok tidak bertentangan atau tumpang tindih satu sama lainnya?.
Seperti hanya dengan anggota tim
olahraga, kelompok kerja memerlukan pengetahuan tentang apa yang dimainkan oleh
dirinya dan diri anggota lainnya. Berdiskusi dengan tujuan menjernihkan atau
mengklarifikasikan peran masing-masing anggota merupakan agenda penting untuk
memulai kerja dalam tim.
3. Pemecahan Masalah.
Memahami bagaimana menggunakan
teknik-teknik pemecahan masalah merupakan hal penting yang menunjang
keberhasilan kerja tim. Setiap anggota tim harus bisa berpartisipasi
menggunakan beberapa cara dasar dalam memecahkan masalah di bawah ini :
·
Diagram
Pareto, menggambarkan masalah-masalah yang dihadapi oleh tim. Setiap “bar” menunjukan tingkat seringnya
masalah tertentu muncul, atau biaya yang diakibatkan oleh adanya masalah. Tim
harus berupaya untuk memecahkan masalah yang sering muncul atau yang dampaknya
paling merugikan.
·
Diagram
Alur Kerja, menggambarkan langkah-langkah kerja yang harus dilakukan mulai dari
awal sampai dengan akhir. Dengan mempelajari diagram tersebut setiap anggota
dapat membayangkan proses kerja tim secara keseluruhan.
·
Diagram
Sebab-Akibat, biasanya juga disebut dengan nama diagram “tulang ikan”. Di
dalamnya tertera masalah utama dan secara berurutan hal-hal lain yang
diperirakan sebagai penyebab munculnya masalah.
·
“Brainstorming”, setiap anggota kelompok diberi
kesempatan untuk mengembangkan gagasan-gagasan sebebas dan sebanyak mungkin.
Setiap gagasan dituliskan dalam “flip-chart”.
Anggota tidak diperkenankan untuk “membunuh” gagasan segila apapun. Melalui
cara ini diharapkan muncul pemikiran kreatif guna pemecahan masalah.
·
Rencana
tindakan, memungkinkan apa yang telah diputuskan untuk segera dilaksanakan.
Peran dan tanggungjawab diberikan, Laporan diperlukan. Biasanya temuan-temuan
dan rencana tindakan disajikan di hadapan manajemen atau panitia pengarah untuk
memperoleh persetujuan, atau sebagai informasi dan komunikasi.
·
Bagan
pertanggung-jawaban menggambarkan kegiatan-kegiatan, waktunya, tekniknya, dan
orang yang melaksanakannya. Adanya bagan ini semua anggota tim mengetahui
secara rinci keseluruhan proses kegiatan yang sedang berlangsung.
Pelatihan
yang komprehensif, diikuti oleh pelatihan individual, membantu anggota tim
menerapkan alat-alat di atas dengan benar. Setiap orang harus bekerja dan
senantiasa memperbaiki ketrampilannya. Bangsa Jepang menyebutnya “Kaizen”.
4.
Konsensus
dalam mengambil keputusan.
Sebagian besar keputusan di
tempat kerja dibuat oleh pihak yang memiliki kekuasaan. Konsensus terjadi
manakala semua anggota mengatakan : “Saya sepakat dengan keputusan itu, walau
tidak 100% setuju, namun saya sangat mendukungnya”. Konsensus berbeda dengan
demokratis. Keputusan yang diambil secara demokratis mengandalkan pada suara
terbanyak, artinya masih ada anggota tim yang tidak setuju, yaitu minoritas.
Pihak yang tidak setuju biasanya tidak sungguh-sungguh bersedia melaksanakan
hasil keputusan. Dalam teknik pengambilan keputusan melalui konsensus yang
sebenarnya, keputusan diambil setelah semua anggota setuju. Melalui penambahan
waktu dan kesabaran, setiap anggota mengemukakan secara panjang lebar
pendapatnya sehingga semua pihak mengerti. Konsensus tidak hanya merupakan cara
terbaik dalam pengambilan keputusan, namun juga berpotensi memunculkan komitmen
tinggi pada diri setiap anggota tim untuk melaksanakannya. Kualitas keputusan
melalui consensus memang sangat baik, sehingga memudahkan pelaksanaannya karena
semua yang mengambil keputusan sepakat atas apa yang telah diputuskan.
Pengambilan keputusan secara
konsensus tidaklah mudah, oleh karena itu setiap anggota perlu memperoleh
latihan guna memiliki ketrampilan yang diperlukan. Studi kasus yang diikuti
oleh analisis kelompok merupakan salah satu bentuk pelatihan. Di sini akan
terlihat beberapa perilaku : “Apakah anggota kelompok mendengar-kan
gagasan-gagasan secara obyektif?”, “Apakah setiap anggota kelompok telah
diberikan kesempatan bicara secara memadai?” ”Apakah ada pihak yang
mendominasi?”, “Apakah kelompok mampu memecahkan pertentangan?”. Pengambilan
keputusan secara consensus harus dilakukan secara sistematis dan sabar. Tidak
perlu tergesa-gesa. Apabila kelompok mencapai konsensus, tim akan dapat bekerja
secara maksimal.
5.
Mengatasi
konflik
Bukan hal yang aneh jika suatu
kelompok yang terdiri atas orang-orang yang berbeda latar belakang, berpotensi
memunculkan konflik. Jika tim gagal
menangani konflik dengan semestinya maka akan gagal mencapai tujuan. Dengan
dikembangkannya ketrampilan mengelola konflik, maka walaupun terjadi konflik,
tim masih memperoleh manfaat daripadanya. Pandangan yang saling bertentangan
satu sama lain, jika dikelola dengan baik justru akan menciptakan suatu keputusan
yang lebih baik.
Sebuah tim dapat mengembangkan
kapasitas menangani konflik melalui berbagai cara, misalnya diskusi terbuka
tentang konflik itu sendiri atau melalui diskusi yang tangguh yang penuh
perdebatan dan skeptisme. Permainan peran (role
playing), dan latihan-latihan membantu tim mengembangkan komunikasi terbuka
yang diperlukan untuk menyelesaikan konflik secara produktif. Tim yang
berkinerja tinggi antara lain dicirikan dengan adanya anggota-anggota yang
kritis, namun masih saling menghargai satu sama lainnya.
6.
Evaluasi
hasil
Sebagai suatu tim kerja yang
senantiasa berfungsi, tim harus mengevaluasi hasil kegiatannya guna mengetahui
keberhasilan atau pun kegagalannya. Evaluasi dapat dilakukan melalui berbagai
cara. Dalam beberapa kasus, hasil dari adanya tim kerja dapat diukur
berdasarkan kriteria baku produktivitas atau keluaran. Jika setelah dibentuknya
tim, produktivitas lebih baik daripada sebelumnya maka dapat dikatakan tim
tersebut efektif. Kesalahan yang makin berkurang, biaya produksi makin kecil,
tingkat turnover menurun, adalah beberapa tanda bahwa tim bekerja secara
efektif. Pemasok dan juga pelanggan yang menggunakan jasa tim harus pula
dijadikan sumber informasi keberhasilan atau kegagalan tim.
CIRI-CIRI TIM YANG BERKINERJA
TINGGI
1.
Seluruh
anggota mempunyai tekad menyelesaikan tujuan atau misi yang dikembangkannya.
2.
Tim
bekerja dalam lingkungan yang anggotanya saling terbuka dan percaya satu sama
lainnya.
3.
Seluruh
anggota merasa memiliki tim, dan secara sukarela mereka berpartisipasi di
dalamnya.
4.
Anggota
terdiri atas orang dengan pengalaman, gagasan, pandangan, yang berbeda, dan
perbedaan ini dihargai.
5.
Semua
anggota tim secara terus menerus belajar dan memperbaiki dirinya. Hal ini
membantu meningkatkan kemampuan tim dalam memecahkan persoalan.
6.
Semua
anggota tim mengerti peranan dan tanggung-jawabnya, saling menghargai satu sama
lainnya.
7.
Keputusan
diambil berdasarkan konsensus
8.
Setiap
anggota tim berkomunikasi secara terbuka, langsung, dan saling mendengarkan
satu sama lainnya secara obyektif dan penuh kesabaran.
9.
Tim
dapat menangani konflik tanpa harus memunculkan permusuhan.
Pimpinan tim, apakah
temporer atau tetap, mempraktekan gaya kepemimpinan partisipatif.
Bahan
modul ini diambil dari :
Hasan Mustafa, 2001
Modul Perancangan
Organisasi (SDM) – Ir. Farida MMA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar