Kamis, 10 Oktober 2013

Kepribadian, Persepsi, dan Pengambilan Keputusan Individu


Kepribadian (personality)
Kepribadian adalah sekumpulan cara bagaimana seorang individu beraksi dan berinteraksi dengan orang lain. Kepribadian merupakan determinan paling penting bagi individu, karena kepribadian menentukan bagaimana seorang individu berpikir, berperilaku, dan berperasa dalam berbagai macam situasi yang berbeda-beda.
            Ada beberapa faktor yang dianggap berpengaruh terhadap kepribadian seseorang yaitu :
·        Turunan (heredity). Faktor ini menyangkut segala sesuatu yang berhubungan dengan keturunan, seperti bentuk fisik, turunan biologis, dan turunan psikologis.
·        Lingkungan (environmental). Faktor ini meliputi budaya tempat kita dibesarkan, norma-norma keluarga, norma masyarakat, agama, dan kondisi sosial.
·        Situasi (situation). Pada situasi yang berbeda orang akan cenderung menampilkan aspek kepribadian yang berbeda pula.
Beberapa ilmuan mencoba mengklasifikasikan kepribadian ke dalam pola-pola tertentu. Dua teori yang paling populer yang mencoba mengklasifikasikan kepribadian adalah The Myers-Briggs Type Indicator dan The Big Five Model.
            The Myers-Briggs Type Indicator mengklasifikasikan kepribadian ke dalam empat kriteria berlawanan yang akan membentuk 16 pola kepribadian. Empat kriteria tersebut adalah :
·        Introvert vs Extrovert (I-E)
·        Sensing vs Intuitive (S-N)
·        Thinking vs Feeling (T-F)
·        Perceiving vs  Judging (P-I)
            The Big Five Model  menjelaskan ada lima dimensi yang mendasari kepribadian manusia. Lima dimensi tersebut adalah :
·        Extroversion adalah dimensi kepribadian yang mendeskripsikan seseorang sebagai orang yang asertif.
·        Agreebleness adalah dimensi kepribadian yang mendeskripsikan seseorang sebagai orang yang kooperatif dan dapat dipercaya.
·        Conscientiousness adalah dimensi kepribadian yang mendeskripsikan seseorang sebagai orang yang bertanggung jawab, dapat diandalkan, dan teratur rapi.
·        Emotional stability adalah dimensi kepribadian yang mendeskripsikan kepribadian yang mendeskripsikan ketahanan seseorang terhadap tekanan atau stres.
·        Openess to experience adalah dimensi kepribadian yang mendeskripsikan seseorang sebagai orang yang sensitif, imajinatif, dan penuh rasa ingin tahu.

Selain itu, individu juga sering digolongkan ke dalam dua tipe kepribadian, yaitu tipe kepribadian A dan tipe kepribadian B. Tipe kepribadian A mempunyai ciri-ciri selalu bergerak dan bekerja cepat, tidak sabaran, tidak menyukai kesantaian, suka mengerjakan beberapa pekerjaan sekaligus, dan mempunyai obsesi untuk selalu sukses dalam setiap pekerjaan yang dilakukannya. Sedangkan orang dengan tipe kepribadian B dicirikan sebagai seorang yang tidak terburu-buru, rileks, dan santai dalam bekerja.
Dalam kepribadian ada komponen yang disebut sebagai self esteem, yaitu sejauh mana seorang individu menyukai dirinya sendiri. Selain itu ada juga locus of control yang adalah seberapa yakin bahwa seorang individu dapat mengontrol kehidupannya sendiri. Orang dengan lokus kontrol internal percaya bahwa dirinya bisa mengendalikan kehidupannya sendiri, sementara orang dengan lokus kontrol eksternal percaya bahwa dirinya adalah budak takdir, ia tidak berkuasa atas kehidupannya sendiri.
Komponen lain adalah machiavellianism yaitu bagaimana cara seseorang memperoleh dan menggunakan kekuasaan. Orang yang memiliki tingkat machiavellianisme yang tinggi akan bersifat pragmatis, dapat mengendalikan emosinya dan cenderung menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan dirinya. Ada juga komponen self monitoring yaitu sejauh mana individu mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya serta komponen risk taking yaitu sejauh mana seorang individu berani mengambil resiko. Orang mempunyai keberanian besar dalam mengambil resiko disebut sebagai risk taker, sedangkan seseorang yang cenderung menghindari risiko disebut sebagai risk averter.

Persepsi
Persepsi adalah suatu proses yang ditempuh individu-individu untuk mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna kepada lingkungan. Namun apa yang merupakan persepsi seseorang dapat berbeda dari kenyataan yang objektif. Karena perilaku orang didasarkan pada persepsi mereka akan realitas, dan bukan pada realitas itu sendiri, maka persepsi sangat penting pula dipelajari dalam perilaku organisasi. Menurut Robbins dan Judge (2009), persepsi (perception) diartikan sebagai cara individu menganalisis dan mengartikan pengamatan indrawi mereka dengan tujuan untuk memberikan makna terhadap lingkungan sekitar mereka. Seorang individu akan memandang segala sesuatu dengan persepsi mereka sendiri yang mungkin saja berbeda dengan persepsi orang lain. Mengapa persepsi itu penting dalam studi perilaku organisasi, karena dari perilaku individu inilah persepsi mendasari cara pandang mereka dalam menghadapi kenyataan hidup, dalam melakukan proses aktifitas atau kegiatan untuk mencapai tujuan yang akan memberikan hasil yang terbaik sesuai dengan harapan mereka.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi, yaitu :
  1. Pelaku persepsi : penafsiran seorang individu pada suatu objek yang dilihatnya akan sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadinya sendiri, diantaranya sikap, motif, kepentingan atau minat, pengalaman masa lalu, dan pengharapan. Kebutuhan atau motif yang tidak dipuaskan akan merangsang individu dan mempunyai pengaruh yang kuat pada persepsi mereka. Contoh-contoh seperti seorang tukang rias akan lebih memperhatikan kesempurnaan riasan orang daripada seorang tukang masak, seorang yang disibukkan dengan masalah pribadi akan sulit mencurahkan perhatian untuk orang lain, dls, menunjukkan bahwa kita dipengaruhi oleh kepentingan/minat kita. Sama halnya dengan ketertarikan kita untuk memperhatikan hal-hal baru, dan persepsi kita mengenai orang-orang tanpa memperdulikan ciri-ciri mereka yang sebenarnya.
  2. Target : Gerakan, bunyi, ukuran, dan atribut-atribut lain dari target akan membentuk cara kita memandangnya. Misalnya saja suatu gambar dapat dilihat dari berbagai sudut pandang oleh orang yang berbeda. Selain itu, objek yang berdekatan akan dipersepsikan secara bersama-sama pula. Contohnya adalah kecelakaan dua kali dalam arena ice skating dalam seminggu dapat membuat kita mempersepsikan ice skating sebagai olah raga yang berbahaya. Contoh lainnya adalah suku atau jenis kelamin yang sama, cenderung dipersepsikan memiliki karakteristik yang sama atau serupa.
  3. Situasi : Situasi juga berpengaruh bagi persepsi kita. Misalnya saja, seorang wanita yang berparas lumayan mungkin tidak akan terlalu ‘terlihat’ oleh laki-laki bila ia berada di mall, namun jika ia berada dipasar, kemungkinannya sangat besar bahwa para lelaki akan memandangnya.

Gambar 1; Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Persepsi
Faktor-faktor Dalam Diri Pengarti :
§ Sikap-sikap
§ Motif-motif
§ Minat-minat
§ Pengalaman
§ Harapan-harapan
 
 



                    

Faktor-faktor dalam setuasi;
§  Waktu
§  Keadaan kerja
§  Keadaan sosial
 
Faktor-faktor Dalam Diri  Target; :
§ Sesuatu yang baru
§ Gerakan
§ Suara
§ Ukuran
§ Latar belakang
§ Kedekatan
§ Kemiripan

 
 
4.     
5.     






                    
Karakteristik target yang sering di observasi dan yang bisa mempengaruhi apa yang diartikan individu yang bersuara keras cenderung diperhatikan dalam sebuah kelompok dibandingkan individu yang diam. Konteks di mana kita melihat berbagai objek atau peristiwa, itu juga penting. Waktu adalah sebuah objek atau peristiwa yang dilihat, dapat mempengaruhi perhatian, seperti halnya; lokasi, cahaya, panas, dan lain sebagainya.
Teori hubungan juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sebuah persepsi. Persepsi kita terhadap individu berbeda dengan persepsi kita tentang benda-benda mati, seperti kursi, jendela, rumah, karena kita membuat kesimpulan tentang berbagai tindakan dari individu yang tidak kita temui pada benda-benda mati. Teori hubungan ini merupakan suatu usaha ketika individu-individu mengamati perilaku untuk menentukan apakah hal ini disebabkan secara internal atau eksternal.

Cara –cara Menilai Orang Lain
Ketika kita menilai orang lain, maka kita mendasarkan penilaian kita tersebut berdasarkan persepsi kita sendiri. Persepsi yang kita dapatkan itu berasal dari informasi yang kita peroleh dari pengamatan inderasi. Informasi yang diperoleh dari pengamatan inderawi kemudian kita tafsirkan sehingga akhirnya keluarlah suatu penilaian terhadap orang tersebut.
Akan tetapi, ada kalanya kita memiliki informasi yang cukup untuk memberikan penilaian sehingga kita kemudian menggunakan jalan pintas. Akibatnya sering kali penilaian yang kita berikan salah, karena persepsi yang terbentukpun salah.
Teori Atribusi  pada dasarnya mengungkapkan bahwa bila individu mengamati perilaku, mereka mencoba menentukan apakah itu disebabkan faktor internal atau eksternal. Misalnya saja persepsi kita terhadap orang akan dipengaruhi oleh penyebab-penyebab internal karena sebagai manusia mereka mempunyai keyakinan, maksud, dan motof-motif didalam dirinya. Namun persepsi kita terhadap benda mati seperti gedung, api, air, dls, akan berbeda karena mereka adalah benda mati yang memiliki hukum alamnya sendiri (eksternal).
Penentuan apakah perilaku itu merupakan penyebab eksternal atau internal bergantung pada tiga faktor :
1.      Kekhususan : apakah seorang individu memperlihatkan perilaku yang berlainan dalam situasi yang berlainan.
2.      Konsensus : yaitu jika setiap orang yang menghadapi situasi serupa bereaksi dengan cara yang sama.
3.      Konsistensi : apakah seseorang memberikan reaksi yang sama dari waktu ke waktu.
Salah satu penemuan yang menarik dari teori ini adalah bahwa ada kekeliruan atau prasangka (bias, sikap berat sebelah) yang menyimpangkan atau memutar balik atribusi. Bukti mengemukakan bahwa kita cenderung meremehkan pengaruh faktor dari luar dan melebih-lebihkan pengaruh faktor internal. Misalnya saja, penurunan penjualan seorang salesman akan lebih dinilai sebagai akibat dari kemalasannya daripada akibat kalah saing dari produk pesaing.
Ada beberapa teknik dalam menilai orang yang memungkinkan kita membuat persepsi yang lebih akurat dengan cepat dan memberikan data yang valid (sahih) untuk membuat ramalan. Namun teknik-teknik ini akan menceburkan kita dalam kesulitankarena tidak ‘foolproof’. Karena itu, pemahaman akan jalan pintas ini dapat membantu kita mewaspadai bila teknik-teknik ini menghasilkan distorsi.
  1. Persepsi selektif : orang-orang secara selektif menafsirkan apa yang mereka saksikan berdasarkan pengalaman, latar belakang, kepentingan, dan sikap. Hal ini dikarenakan kita tidak dapat mengamati semua yang berlangsung disekitar kita. Misalnya saja, seperti diatas tadi, orang yang menyenangi hasil seni akan cenderung memperhatikan lukisan daripada orang yang menyenangi teknologi. Dengan selektivitas sebagai jalan pintas, kita mencerna sedikit demi sedikit dari apa yang ingin kita nilai, dan tentu saja kita mencernanya sesuai dengan latar belakang, pengalaman, kepentingan, dan minat kita. Tentu saja, kesalahan sangat mungkin terjadi dengan jalan pintas ini.
  2. Efek halo : yaitu menarik eksan umum mengenai seorang individu berdasarkan suatu karakteristik tunggal, misalnya pendiam, sangat bersemangat, pintar, dls. Orang yang menilai dapat mengisolasi hanya karakteristik tunggal. Suau ciri tunggal dapat mempengaruhi seluruh kesan oarng dari individu yang sedang dinilai.
  3. Efek kontras : yaitu evaluasi atas karakteristik-karakteristik seseorang yang dipengaruhi oleh pembandingan-pembandingan dengan orang lain yang baru saja dijumpai yang berperingkat lebih tinggi atau lebih rendah pada karakteristik yang sama. Contohnya adalah orang yang diwawancara dapat memperoleh evaluasi yang lebih menguntungkan jika sebelumnya ia telah didahului oleh banyak pelamar yang kurang bermutu.
  4. Proyeksi : Yaitu menghubungkan karakteristik kita sendiri ke orang lain. Misalnya saja orang yang bekerja dengan cepat dan ulet akan menganggap orang lain sama dengannya.
  5. Berstereotipe : yaitu menilai seseorang bedasarkan persepsi seorang terhadap kelompok seseorang itu. Misalnya kita menilai bahwa orang yang gemuk malas, maka kita akan mempersepsikan semua orang gemuk secara sama. Generalisasi seperti ini dapat menyerdehanakan dunia yang rumit ini dan memungkinkan kita mempertahankan konsistensi, namun sangat mungkin juga bahwa stereotipe itu tidak mengandung kebenaran ataupun tidak relevan.

Pengambilan Keputusan Individu
            Menurut Driscoll (1978), partisipasi dalam pengambilan keputusan berhubungan dengan efficacy. Efficacy sendiri didefinisikan sebagai perassan atau anggapan bahwa seseorang mampu untuk mempengaruhi pembuatan keputsan dalam organisasi.
Partisipasi seorang individu dalam proses pengambilan keputusan yang tinggi apabila ia memiliki efficacy yang tinggi, ia memiliki keyakinan bahwa ia bisa ikut mempengaruhi sistem, proses, dan isi dari keputusan yang dibuat. Begitu pula sebaliknya, apabila seorang individu memiliki efficacy yang rendah ia cenderung akan kurang berpartisipasi. Hal ini disebabkan ia memiliki anggpan bahwa dirinya tidak bisa mempengarui sistem, proses dan isi dari sebuah keputusan.
            Robbins dan Judge (2009) menghubungkan proses pengambilan keputusan dengan persepsi. Begitu pula dalam hal partisipasi dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan efficacy yang tak lain merupakan persepsi seseorang akan dirinya sendiri. Jadi keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan di dalam organisasi ditentukan oleh persepsi individu terhadap dirinya sendiri. Apabila seseorang berpersepsi bahwa dirinya mampu mempengaruhi proses pengambilan keputusan maka ia akan berpersepsi bahwa dirinya tidak memiliki pengaruh apapun dalam proses pengambilan keputusan.

Penerapan Khusus dalam Organisasi
Penilaian memiliki banyak konsekuensi bagi organisasi. Didalamnya orang-orang selalu saling menilai. Berikut ini adalah beberapa penerapannya yang lebih jelas :
·        Wawancara karyawan :
Bukti menunjukkan bahwa wawancara sering membuat penilaian perseptual yang tidak akurat. Pewawancara yang berlainan akan melihat hal-hal yang berlainan dalam diri seorang calon yang sama. Jika wawancara merupakan suatu masukan yang penting dalam keputusan mempekerjakan, perusahaan harus mengenali bahwa faktor-faktor perseptual mempengaruhi siapa yang dipekerjakan dan akhirnya mempengaruhi kualitas dari angkatan kerja suatu organisasi.
·        Pengharapan kinerja :
Bukti menunjukkan bahwa orang akan berupaya untuk mensahihkan persepsi mereka mengenai realitas, bahkan jika persepsi tersebut keliru. Pengharapan kita mengenai seseorang/sekelompok orang akan menentukan perilaku kita. Misalnya manager memperkirakan orang akan berkinerja minimal, mereka akan cenderung berperilaku demikian untuk memenuhi ekspektasi rendah ini.
·        Evaluasi kinerja :
Penilaian kinerja seorang karyawan sangat bergantung pada  proses perseptual. Walaupun penilaian ini bisa objektif, namun banyak yang dievaluasi secara subjektif. Ukuran subjektif adalah berdasarkan pertimbangan, yaitu penilai membentuk suatu kesan umum mengenai karyawan. Semua persepsi dari penilai akan mempengaruhi hasil penilaian tersebut.
·        Upaya karyawan :
Dalam banyak organisasi, tingkat upaya seorang karyawan dinilai sangat penting, jadi bukan hanya kinerja saja. Namun penilaian terhadap upaya ini sering merupakan suatu pertimbangan subjektif yang rawan terhadap distorsi-distorsi dan prasangka (bias) perseptual.
·        Kesetiaan karyawan :
Pertimbangan lain yang sering dilakukan manager terhadap karyawan adalah apakah karyawan tersebut setia atau tidak kepada organisasi. Sayangnya, banyak dari penilaian kesetiaan tersebut bersifat pertimbangan. Misalnya saja individu yang melaporkan tindakan tak etis dari atasan dapat dilihat sebagai bertindak demi kesetiaan kepada organisasi ataupun sebagai pengacau.
Di dalam organisasi, proses penilaian terhadap orang lain terdapat dalam banyak aktivitas organisasi. Proses penilaian yang objektif sangat penting untuk dilakukan terutama dalam proses prekrutan karyawan baru dan proses penilaian kinerja. Jalan pintas dalam melakukan penilaian hendaknya dihindari agar keputusan yang diambil bisa objektif dan tidak bias.
Beberapa cara bisa dilakukan untuk menghindari bias dan distorsi dalam proses penilaian, diantaranya :
1.               Mengumpulkan infromasi sebanyak mungkin sebelum menilai. Pengumpulan informasi yang banyak berguna untuk mendapatkan persepsi yang lebih realistis.
2.               Memeriksa simpulan yang diperoleh. Hal ini berguna untuk meyakinkan apakah penilaian yang kita buat telah memperhitungkan semua informasi yang ada secara berimbang ataukah belum.
3.               Mampu membedakan antara fakta dan asumsi. Seringkali dalam melakukan penilaian kita lebih sering menggunakan asumsi pribadi alih-alih menggunakan fakta yang nyata. Sehingga akhirnya penilaian yang dibuat pun menjadi tidak objektif, bias, dan tidak akurat.
4.               Lakukan penilaian dengan mempertimbangkan semua aspek penilaian dengan bobot yang berimbang. Hindarkan menilai sesuatu hanya dari satu aspek saja.
5.               Jangan pernah menganggap bahwa orang lain memiliki standar yang sama dengan kita. Gunakanlah standar baku yang umum dipakai, bukan standar pribadi yang akan menyebabkan penilaian menjadi kurang tepat.

Hubungan antara Persepsi dan Pengambilan Keputusan Individual
Pengambilan kuputusan individual, baik ditingkat bawah maupun atas, merupakan suatu bagian yang penting dari perilaku organisasi. Tetapi bagaimana individu dalam organisasi mengambil keputusan dan kualitas dari pilihan mereka sebagiah besar dipengaruhi oleh persepsi mereka.
Pengambilan keputusan terjadi sebagai suatu reaksi terhadap suatu masalah. Terdapat suatu penyimpangan antara suatu keadaan dewasa ini dan sesuatu keadaan yang diinginkan, yang menuntut pertimbangan arah tindakan alternatif. Misalnya, seorang manager suatu divisi menilai penurunan penjualan sebesar 2% sangat tidak memuaskan, namun di divisi lain penurunan sebesar itu dianggap memuaskan oleh managernya.
Perlu diperhatikan bahwa setiap keputusan menuntut penafsiran dan evaluasi terhadap informasi. Karena itu, data yang diterima perlu disaring, diproses, dan ditafsirkan. Misalnya, data mana yang relevan dengan pengambilan keputusan. Persepsi dari pengambil keputusan akan ikut menentukan hal tersebut, yang akan mempunyai hubungan yang besar pada hasil akhirnya.
Pengambil keputusan harus membuat pilihan memaksimalkan nilai yang konsisten dalam batas-batas tertentu. Ada enam langkah dalam model pengambilan keputusan yang rasional, yaitu : menetapkan masalah, mengidentifikasi kriteria keputusan, mengalokasikan bobot pada kriteria, mengembangkan alternatif, mengevaluasi alternatif, dan memilih alternatif terbaik.
Model pengambilan keputusan yang rasional diatas mengandung sejumlah asumsi, yaitu :
  • Kejelasan masalah : pengambil keputusan memiliki informasi lengkap sehubungan dengan situasi keputusan.
  • Pilihan-pilihan diketahui : pengambil keputusan dapat mengidentifikasi semua kriteria yang relevan dan dapat mendaftarkan semua alternatif yang dilihat.
  • Pilihan yang jelas : kriteria dan alternatif dapat diperingkatkan sesuai pentingnya.
  • Pilihan yang konstan : kriteria keputusan konstan dan beban yang ditugaskan pada mereka stabil sepanjang waktu.
  • Tidak ada batasan waktu dan biaya : sehingga informasi lengkap dapat diperoleh tentang kriteria dan alternatif.
Pelunasan maksimum : alternatif yang dirasakan paling tinggi akan dipilih

Meningkatkan Kreativitas dalam Pengambilan Keputusan
Dengan adanya kreativitas pengambil keputusan dapat memproduksi gagasan-gagasan baru yang bermanfaat. Selain itu, juga memungkinkan untuk lebih menghargai dan memahami masalah, termasuk masalah yang tidak dapat dilihat orang lain.
  1. Potensial kreatif : yaitu potensi yang dimiliki kebanyakan orang, namun untuk mengeluarkannya orang harus keluar dari kebiasaan psikologis yang kebanyakan dari kita terlibat didalamnya dan belajar bagaimana berpikir tentang satu masalah dengan cara yang berlainan.
  2. Model kreativitas tiga komponen : suatu badan riset menunjukkan bahwa kreativitas individual pada hakikatnya menuntut keahlian, ketrampilan berpikir kreatif, dan motivasi tugas intrinsik. Semakin tinggi tingkat dari masing-masing komponen ini, maka semakin tinggi pula kreativitas seseorang.
Kebanyakan keputusan dalam organisasi biasanya diambil seperti dibawah ini :
·               Rasionalitas terbatas :
Para individu mengambil keputusan dengan merancang bangun model-model yang disederhanakan yang menyuling ciri-ciri hakiki dari masalah tanpa menangkap semua kerumitannya. Bila berhadapan pada masalah yang kompleks, kebanyakan orang menanggapi dengan mengurangi masalah pada level aman masalah itu dapat dipahami. Ini disebabkan karena kemampuan manusia mengolah informasi terbatas, membuatnya tidak mungkin mengasimilasi dan memahami semua informasi yang perlu untuk optimisasi. Dengan demikian, mereka mencari pemecahan yang memuaskan.
·               Intuisi :
Penggunaan intuisi untuk mengambil keputusan tidak lagi diangap tak rasional atau tak efektif. Ada pengakuan yang makin berkembang bahwa analisis rasional terlalu ditekankan dan bahwa dalam kasus-kasus tertentu mengandalkan pada intuisi dapat memperbaiki pengambilan keputusan. Namun perlu dilihat bahwa definisi intuitif dari para ahli adalah suatu proses tak sadar yang diciptakan dari dalam pengalaman yang tersaring. Intuisi ini juga saling melengkapi dengan analisi rasional.  Ada 8 kondisi dimana orang paling mungkin menggunakan intuisi didalam pengambilan keputusan, yaitu :
ü  bila ada ketakpastian dalam tingkat yang tinggi,
ü  bila hanya sedikit preseden untuk diikuti,
ü  bila variabel-variabel kurang dapat diramalkan secara ilmiah,
ü  bila ‘fakta’ terbatas,
ü  bila fakta tidak menunjukkan dengan jelas jalan utnuk dituruti,
ü  bila data analitis kurang berguna,
ü  bila ada beberapa penyelesaian alternatif untuk dipilih dengan argumen yang baik, dan
ü  bila waktu terbatas dan ada tekanan untuk segera diambil keputusan yang tepat.
·               Identifikasi masalah :
Masalah yang tampak cenderung memiliki probabilitas terpilih lebih tinggi dibanding masalah-masalah yang penting. Ada dua alasan atas hal tersebut :
ü  mudah untuk mengenal masalah-masalah yang tampak, dan
ü  karena kita prihatin dengan pengambilan keputusan dalam organisasi sehingga para pengambil keputusan ingin tampil kompeten dan ‘berada pada puncak masalah’.
·               Pengembangan alternatif :
Bukti menunjukkan bahwa pengambilan keputusan adalah inkremental, bukan komprehensif. Artinya pengambil keputusan mengindari tugas-tugas sulit yang mempertimbangkan semua faktor penting, menimbang relatif untung dan ruginya, serta mengkalkulasi nilai untuk masing-masing alternatif. Sebagai gantinya, mereka membuat suatu perbandingan terbatas yang bersifat suksesif. Akibatnya pilihan keputusanpun disederhanakan dengan hanya membandingkan alternatif-alternatif yang berbeda dalam tingkat yang relatif kecil dari pilihan terbaru.
·               Membuat pilihan :
Untuk menghindari keputusan yang terlalu sarat, para pengambil keputusan mengandalkan heuristik atau jalan pintas penilaian dalam pengambilan keputusan. Ada dua kategori umum heuristik dan satu bias lainnya, yaitu :
  1. Heuristik ketersediaan : kecenderungan pada orang untuk mendasarkan penilaian pada informasi yang sudah ada ditangan mereka. Ini menjelaskan mengapa para manager lebih mempertimbangkan kinerja terakhir karyawan daripada kinerjanya setengah tahun yang lalu. Sama halnya dengan pikiran orang bahwa naik pesawat lebih berbahaya daripada mobil.
  2. Heuristik representatif : menilai kemungkinan dari suatu kejadian dengan menarik analogi dan melihat situasi identik dimana sebenarnya tidak identik. Contohnya adalah manager yang sering menghubungkan keberhasilan suatu produk baru dengan keberhasilan produk sebelumnya, anak-anak yang menonton film Superman dan merasa dirinya seperti Superman, dls.
  3. Peningkatan komitmen : suatu peningkatan komitmen pada keputusan sebelumnya meskipun ada informasi negatif. Individu meningkatkan komitmen terhadap suatu arah tindakan yang gagal ketika mereka memandang diri mereka sebagai orang yang bertanggung jawab atas kegagalan tersebut, dengan tujuan untuk memperlihatkan bahwa keputusan awal mereka tidak keliru dan menghindari keharusan untuk mengakui kekeliruan itu. Banyak organisasi menderita kerugian karena seorang manager bertekad membuktikan bahwa keputusan awalnya benar dengan terus mengorbankan sumber daya kepada apa yang merupakan kerugian sejak awal.
·        Perbedaan individual-gaya pengambilan keputusan :
Riset mengidentikasikan empat pendekatan individual yang berbeda dalam pengambilan keputusan, yaitu :
-            Analitis : memiliki toleransi jauh lebih besar terhadap ambiguitas, cermat, mampu menyesuaikan diri dengan situasi baru.
-            Direktif : memiliki toleransi rendah atas ambiguitas, mencari rasionalitas, efisien, logis, mengambil keputusan cepat, dan berorientasi jangka pendek.
-            Konseptual : berpandangan sangat luas, mempertimbangkan banyak alternatif, orientasi jangka panjang, dan anagt baik untuk menemukan solusi yang kreatif.
-            Perilaku : bisa bekerja baik dengan yang lain, memperhatikan kinerja rekan kerja dan usulan-usulan mereka, mengandalkan pertemuan untuk berkomunikasi, mencoba menghindari konflik, dan mengupayakan penerimaan.
Kebanyakan dari manager memiliki karakteristik diatas lebih dari satu.
·        Hambatan dari organisasi :
Para manager akan membentuk keputusan sesuai dibawah ini :
·           Evaluasi kinerja : manager dipengaruhi oleh kriteria yang mereka gunakan untuk mengevaluasi. Mereka akan bertindak sesuai apa yang dijadikan penilaian/tolok ukur.
·           Sistem imbalan : yaitu dengan mengemukakan kepada karyawan pilihan apa yang lebih disukai terhadap upah. Umumnya organisasi membuat peraturan formal untuk membakukan perilaku anggotanya. Dengan memprogramkan keputusan, organisasi mampu membuat individu mencapai level kinerja tinggi, namun membatasi pilihan pengambilan keputusan.
·           Pembatasan waktu yang menentukan sistem : batas waktu yang eksplisit dalam pengambilan keputusan menciptakan tekanan waktu pada pengambil keputusan dan sering mempersulit untuk mengumpulkan semua informasi yang ingin merka dapatkan.
·           reseden historis : keputusan yang diambil dimasa lalu akan terus membayangi keputusan saat ini.
·               Perbedaan budaya :
Latar belakang budaya dari pengambil keputusan dapat mempengaruhi seleksi masalah, kedalaman analisis, arti penting yang ditempatkan pada logika dan rasionalitas, atau apakah keputusan organisasional hendaknya diambil secara otokratis atau secara kolektif.

Bagian terakhir adalah mengenai keetisan dalam pengambilan keputusan. Ada tiga kriteria keputusan yang etis, yaitu : kriteria utilitarian (dimana keputusan diambil semata-mata atas dasar hasil/konsekuensi mereka), menekankan pada hak dasar individu sesuai dengan Piagam Hak Asasi, dan menekankan pada keadilan. Kepedulian yang meningkat dalam masyarakat mengenai hak individu dan keadilan sosial menyarankan perlunya bagi manager untuk mengembangkan standar-standar etika yang didasarkan pada kriteria non-utiliter. Tentu saja ini adalah sebuah tantangan yang besar bagi manager, karena dengan demikian akan melibatkan jauh lebih banyak ambiguitas. Ini membantu menjelaskan mengapa para manager makin banyak dikritik karena tindakan-tindakannya. Kini, keputusan seperti menaikkan harga, menutup pabrik, memberhentikan karyawan secara massal, memindahkan produksi keluar negeri untuk mengurangi biaya, dls, hanya dapat dibenarkan dalam makna utiliter, sedangkan keputusan tidak dapat lagi dinilai hanya dari kriteria tunggal tersebut.


Dikutip dari tulisan :
1.        Agus, Auladingsih, I Mas “Makalah Perilaku Individu”
2.        Dewi Hanggraeni, “Perilaku Organisasi (Teori, Kasus, dan Analisis)”. Lembaga Penerbit. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2011

Modul Perancangan Organisasi (SDM) Ir. Farida MMA




1 komentar: